Penulis : Rita Triana | Editor dan Publish : Chairul Falah
Slawi FM – Guna memperjelas status kelembagaan dan Peraturan Perundang-undangan tentang Lembaga Penyiaran Publik Lokal (LPPL) di Indonesia, Persatuan Radio TV Publik Daerah Seluruh Indonesia (IndonesiaPersada.ID) dan Rumah Perubahan bersama seluruh LPPL membahas Draft Final Position Paper melalui daring pada, Sabtu (21/10/2023).
Pemerhati LPPL dari Rumah Perubahan, Darmanto mengatakan Position Paper yang sebelumnya dirumuskan di Jogjakarta oleh perwakilan LPPL dari Jateng, Jatim dan DIY ini langsung dieksplorasi dan disusun bersama Ading Masduki dari Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta dan Dwi Hernuningsih Tenaga Profesional Bidang Sosial Budaya Lemhannas RI. Maka, pertemuan secara daring dilakukan untuk membahas Draft Akhir dan melengkapi masukan dari seluruh LPPL, sebelum diusung ke Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) IndonesiaPersada.ID pekan depan di Denpasar Bali.
“ Ini merupakan tindak lanjut dari pertemuan di Jogjakarta awal Oktober lalu. Nantinya, akan dibawa ke Mukernas V. Kami bertiga sudah melakukan ekplorasi dari pointer yang sudah dirumuskan pada 6 oktober lalu. Dari semula 16 poin kita kembangkan menjadi 27, ada yang diarus-utamakan dalam perjuangan,” ungkap Darmanto.
Dosen Ilmu Komunikasi UII Jogjakarta, Ading Masduki menjelaskan, jika pihaknya bersama Rumah Perubahan dan Tenaga Profesional Bidang Sosial Budaya Lemhannas RI posisinya sebagai translator dari suara seluruh LPPL di Indonesia. Dimana usulan yang masuk akan dirapikan sehingga layak untuk dijadikan Positioning Paper.
Pada kesempatan ini, dirinya meminta Perwakilan LPPL yang hadir mencermati, dan menambah isi dari draft yang sudah dibagikan sebelumnya. Menurutnya secara format sudah lengkap, ada kata pengantar yang menegaskan mengapa PP ini penting, apa isinya dan akan diarahkan kemana. Sehingga nantinya ada kesetaraan antara RRI dan LPPL yang sama – sama merupakan Radio Publik.
“ Ada pengantar, ada konteks yang disampaikan misal diskriminasi perlakukan, tidak hanya soal perijinan namun juga soal pendanaan dan ekosistem. Inginnya ada kesetaraan, antara LPPL dan RRI sama – sama sebagai Radio Publik. Jika hari ini sudah komplit semua masukan, sehingga nanti sudah siap disajikan dalam Mukernas di Denpasar, sehingga gaungnya menjadi baik,” tutur Ading.
Sejalan dengan Ading, Dwi Hernuningsih menambahkan bahwa harus ada kesamaan cara pandang, bagaimana membangun ketahan informasi khususnya di daerah. Jika dilihat dari aspek Asta Gatra, yaitu gatra geografi, demografi, sumber kekayaan alam, ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan hankam maka LPPL ini mempunyai peranan strategis ikut memperkuat posisi bagaimana membangun informasi di daerah. Karena belum semua daerah belum terjangkau oleh siaran RRI atau TVRI.
“ Ibaratnya puzlle di Ketahanan Informasi masih ada puzle yang kosong yang perlu dioptimalkan didalam pelayanan diperkuat dari posisinya, kelembagaanya. Inilah saatnya LPPL untuk bersuara lantang agar lebih diperhatikan usulan – usulannya,” ujar Dwi.
Sementara itu ada beberapa hal yang disampaikan Mantan Ketua Pansus UU 32/2002, Paulus Widiyanto. Pertama dirinya mengajak LPPL mencoba hal baru, yang juga sudah di praktekan di beberapa LPPL, yakni dari berfikir analog ke Digital atau model baru penyiaran. Kedua, Jika bicara soal PP No. 11 Tahun 2005 yang ingin ditekankan adalah berani membuat rumusan yang definitif tentang siapakah kita.
Karena dalam UU Penyiaran terkait lokalitas yang dimaksud adalah Where, padahal kita harus membuat LPPL Lokal adalah Who. Ia menginginkan LPPL harus Subjek atau Who atau Siapa saya. Hal ini penting untuk menjadi starting point agar lokalitas yang akan kita angkat adalah Who am I, bukan Where am I.
“ Itu yang disebut mendefinisikan diri kita. Kebermaknaan saya. Nah dengan demikian kita mempunyai daya tawar. Kalau kita mempunyai 150 LPPL maka kita bisa mengatakan inilah kami, yang bisa memberikan informasi masyarakat,” ungkapnya.
Kemudian, dalam diskusi ini juga ada beberapa usulan, dari Wasekjen 1 IndonesiaPersada.ID Rita Triana terkait Status kelembagaan yang pendiriannya berdasarkan Perda seperti dua sisi mata uang. Bahkan bisa menjadi titik transaksional antara eksekutif dan legislatif.
“ Saya awali dulu dari status kelembagaan, selama ini justru ketika dasar pendiriannya Perda, memang seperti dua sisi mata uang. Karena kalau di pusat pembahasannya seperti UU. Jadi kalau untuk daerah – daerah yang kebetulan Direktur-nya atau Kepala Dinas Kominfo-nya mempunya kedekatan dengan DPRD setempat, itu proses pembahasanya menjadi cepat, namun juga sebaliknya, bisa lambat dan alot,” tambah Rita.
Lalu, Yulia dari LPPL Radio Kanjuruhan FM Kabupaten Malang mengeluhkan terkait keberadaan LPPL tersebut yang hingga saat ini masih berjuang untuk legalitas. Sudah mengurus perijinan sejak beberapa tahun lalu namun jawaban ditolak dengan dalih tidak ada kanal frekuensi.
“ Terus langkah kami kedepannya seperti apa. Paling tidak saat ini kita optimis akan ada solusi setelah kita nanti bertemu di Mukernas,” jelas Yulia.
Hal yang sama juga diungkapkan Direktur Utama LPPL Radio Slawi FM Kabupaten Tegal Jawa Tengah Kusnianto dan Prasetyo dari LPPL Radio Suara Anjuk Ladang (RSAL) Kabupaten Nganjuk Jawa Timur. Terkait perijinan ia sepakat jika perijinan harusnya dipermudah. Kalau sudah negara yang menggunakan, frekuensi itu akan sesuai dengan aturan. (CF/RA)