Penulis : Rita Triana | Editor dan Publish : Chairul Falah
Slawi FM – Diyakini, separuh lebih rakyat Indonesia tidak tahu apa itu Lembaga Penyiaran Publik Lokal (LPPL) Radio dan TV. Apa sebab? Lebih dari separuh Provinsi/ Kabupaten/Kota di negeri ini tidak punya LPPL. Sesuai amanah Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2002, LPPL memang hanya bisa didirikan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) melalui Peraturan Daerah (Perda). Namun, meski separuh lebih Pemda tidak punya LPPL, itu tidak menyurutkan langkah para pengelolanya untuk membangun kekuatan jaringan.
Hal itulah yang ditunjukkan para pengelola LPPL Indonesia selama dua hari di Denpasar Bali, 31 Oktober – 1 November 2023. Dari segala penjuru Sabang sampai Merauke, mereka berjuang hadir dengan segala daya, mengikuti rangkaian kegiatan Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) Persatuan Radio TV Publik Daerah Seluruh Indonesia (INDONESIA PERSADA.ID). Setidaknya sekitar 300 orang pengelola LPPL dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara berjuang riang hadir. Hanya Papua yang terkendala sehingga terpaksa menyimak rangkaian kegiatan Mukernas secara daring melalui Youtube.
Kegiatan Mukernas diisi dengan tiga rangkaian acara yaitu Workshop di hari pertama, penganugerahan INDONESIAPERSADA.ID AWARD, dan Mukernas sebagai agenda utama pada hari kedua. Workshop mengangkat tema Radio Senantiasa Ada menghadirkan sejumlah narasumber yang semuanya menyoal dan mengarah pada bagaimana agar radio, terutama LPPL, semakin eksis dan tumbuh di seluruh daerah di Indonesia.
“ Saya selalu mengingatkan bahwa salah satu tujuan konkret dari visi misi pendirian INDONESIA PERSADA.ID adalah agar Pemerintah membangun LPPL di seluruh daerah di Indonesia. LPPL, terutama radio, adalah jalan keluar paling efektif dan efisien dalam menjaga ketahanan informasi negara di daerah,” ujar Rita Triana, Wasekjen 1 INDONESIAPERSADA.ID yang menjadi salah satu narasumber yang mengangkat sub tema Radio Senantiasa Ada vs Radio Publik (Tidak) Baik – Baik Saja.
Lebih lanjut Rita menjelaskan, mengingat mayoritas kondisi geografis negara kita adalah non perkotaan. Konvergensi ke platform digital perlu dan penting, tapi yang konvensional yang terestrial malah sangat penting. Coba kita bayangkan, jika kita hanya mengandalkan digitalisasi multi platform berbasis internet, kemudian tiba – tiba Google memutus jaringan internet, maka masyarakat Indonesia akan terisolir dari akses informasi.
“ Jika Google misalnya, atau penyedia jasa internet lain mematikan jaringan internet dan seluler, kita bisa apa? Maka, siaran radio terrestrial di Indonesia mutlak sangat diperlukan untuk menjaga ketahanan informasi negara di daerah. Dan itu sangat mudah. Mengapa? Pemanfaatan frekuensi dikuasai negara karena sebagai sumber daya yang sangat terbatas. Penggunaan frekuensi harus diutamakan dulu untuk kepentingan negara, baru sisanya bisa untuk kepentingan bisnis swasta. Maka, jangan hanya frekuensi untuk RRI saja yang dapat previlige, tapi juga wajib untuk LPPL,” imbuhnya.
Penjelasan Rita tersebut sekaligus menanggapi paparan dua narasumber dari Kementerian Kominfo RI yang menguraikan tentang bagaimana mekanisme perijinan LPPL di sessi sebelumnya. Dua narasumber tersebut adalah Ketua Tim Pengelolaan PNBP dan SIMP SPPDP dari Direktorat Penyiaran Hari Purnomo dan Adityawarman yang menangani Perijinan SFR2 dari Direktorat Operasi Sumber Daya
“ Proses perijinan LPPL memang harus melalui system perijinan online terpadu satu pintu OSS (Online Single Submission – red) dan LPPL wajib memiliki NIB (Nomor Induk Berusaha – red),” tutur Hari Purnomo.
Sementara itu, Adityawarman mengatakan bahwa alokasi frekuensi untuk LPPL baru bisa diberikan jika quota 20% untuk RRI sudah terpenuhi. Pihaknya tidak bisa berbuat apa – apa, mengingat hal tersebut tertuang jelas Undang Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Publik (LPP).
“ Saat ini tengah dilakukan revisi terhadap PP 11/2005, usulan – usulan dari LPPL melalui diskusi yang kami lakukan bersama (Mbak) Rita (Wasekjen 1 INDONESIAPERSADA.ID – red) telah kami rangkum dan kami coba memasukkan. Kita lihat nanti bagaimana setelah revisi PP ditandatangani Presiden,” jelas Adityawarman.
Menanggapi paparan mekanisme perijinan LPPL dari Kementerian Kominfo tersebut, narasumber lain dari Rumah Perubahan LPP Jogja menyampaikan kegemasannya. Hal tersebut tertuang dalam poin – poin materi bahasan tiga narasumber dari Rumah Perubahan LPP Jogja yang tertuang dalam Posisiton Paper LPPL terhadap Undang Undang Penyiaran.
“ LPPL itu bukan perusahaan radio, bukan sebuah unit usaha radio. Mengapa harus pakai NIB segala? LPPL itu dibentuk untuk memenuhi kebutuhan hak informasi rakyat di daerah. Itu sesuai amanat Undang Undang (Penyiaran – red),” protes keras Paulus Widianto, pegiat Rumah Perubahan LPPL yang juga mantan Ketua Pansus RUU Penyiaran Tahun 2002 yang juga diundang sebagai salah satu narasumber.
Bagaimana seharusnya Pemerintah menempatkan LPPL? Sebagai bagian dari kewajiban negara yang harus hadir di seluruh pelosok negeri untuk memenuhi kebutuhan informasi atas rakyatnya secara efektif dan efisien. Semuanya tertuang dalam Position Paper LPPL terhadap UU Penyiaran yang akan dikirim ke Komisi I DPR RI, Presiden dan Menteri Kominfo sebagai pernyataan sikap INDONESIAPERSADA.ID sebagai rekomendasi terhadap revisi UU Penyiaran yang hingga saat ini belum berujung.
Narasumber lain dari Rumah Perubahan LPP dalam Workshop tersebut adalah Darmanto peneliti BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional – red) dan Masduki dosen Prodi Ilmu Komunikasi UII Jogja. Keduanya sepakat bahwa LPPL perlu aturan tersendiri, sama dengan jenis lembaga penyiaran yang masing – masing diatur dalam Peraturan Pemerintah.
“ Poin utama yang kami rangkum dan kita tuangkan dalam Position Paper ini adalah melawan diskriminasi Pemerintah terhadap LPPL. Meliputi perijinan, kelembagaan, sumber daya manusia, maupun sumber daya keuangan,” terang Darmanto.
Sedangkan Masduki mengingatkan agar para pengelola LPPL juga sungguh – sungguh memperhatikan konvergensi multi platform.
“ Jangan hanya terjebak di siaran terestrial, tapi juga harus multi platform, agar bisa menjangkau pendengar tradisional atau konvensional tetapi sekaligus menyentuh memenuhi kebutuhan informasi dan hiburan pada segmen pendengar yang ramah internet,” kata Masduki.
Saat sessi tanya jawab Workshop, sekaligus dimanfaatkan oleh peserta untuk menumpahkan kegundahan mereka atas sikap Pemerintah yang belum sepenuhnya berpihak pada LPPL sebagai media paling praktis dalam penyebarluasan informasi negara di daerah. Salah satunya adalah kegemasan yang disampaikan oleh Kepala Bidang Informasi Komunikasi Publik Diskominfo Kabupaten Magetan Jawa Timur.
“ Kami ini sudah bertahun – tahun berusaha mengurus ijin Magetan Indah FM. Kami ingin memberikan kado akhir masa jabatan untuk Bupati kami yang juga mantan Sekjen Kementerian Kominfo (Suprawoto – red). Tapi apa hasilnya? Semua proses sudah kita penuhi, semua persyaratan telah kita penuhi. Tapi ujung – ujungnya adalah, tidak ada frekuensi karena dipakai RRI. Hingga habisnya masa jabatan Pak Bupati, (LPPL) Magetan Indah belum punya ijin. Jika tidak punya ijin, bagaimana kami bisa membiayai operasionalnya? Karena akan disoal oleh BPK dan menjadi masalah saat audit. Jika tidak bisa punya ijin, Magetan Indah akan kami tutup dan hanya akan menggunakan media sosial saja,” pungkas Eko dengan nada geregeten seraya menyerahkan kronologis pengurusan ijin LPPL Radio Magetan Indah FM kepada narasumber guna diteruskan kepada Menteri Kominfo. (CF/RA)